Solusi Untuk Mengatasi Banjir Jakarta
Sudah banyak kabar dan pemikiran tentang alternatif solusi banjir yang selalu saja menghiasi perjalanan kota Jakarta dari tahun ke tahun, atau lebih cilaka lagi adalah dari hujan ke hujan berikutnya. Ada yang menyebutnya bahwa itu bukan banjir melainkan hanya sebuah genangan air, bukankah permasalahan pelik ini meskipun karenanya penduduk dan warga Jakarta sudah sangat terbiasa dan menjadikannya sebagai bagian hidupnya sehari-hari, namun bukan tidak mungkin jika tidak ada solusinya. Disamping kemauan politik dan daya pikir para punggawanya yang harus lebih serius untuk mengantisipasinya, bukannya menjadikan banjir sebagai komoditi wisata atau bahkan komoditi berita, yang mau tidak mau seluruh orang disini pastinya sudah jengah dengan berita banjir yang selalu saja terdengar, meski rasa takut sepertinya juga sudah diputuskan syarafnya karena sudah terlalu terbiasa.Jakarta berada pada posisi dataran rendah yang cukup luas sebenarnya, namun di sebelah sana, ada sebuah kota dan banyak pemukiman dan terkenal dengan kota hujan, sebuah kombinasi yang bagus tentunya, karena panasnya Jakarta tentunya harus diimbangi dengan aliran air yang lancar. Disamping perencanaan kota yang jadinya amburadul dan terlihat tidak serius karena banyaknya pelanggaran ataupun penyebab lainnya yang tidak diungkapkan entah itu karena suap, atau kepentingan industri sehingga mengalahkan perencaan utama yang mungkin saja ada. Namun semua sudah terjadi, seperti penggunaan lahan-lahan sempit yang tidak bisa dihindari karena merupakan kepentingan warga, meskipun pada akhirnya menyulut banyak bentrokan dan kekerasan karena ketidakadilan yang muncul mengalahkan kepentingan masyarakat bawah karena harus membela para penyetor uang yang tentusaja tidak imbang dengan masuknya uang ke negara atau pemerintah daerah, dibandingkan dengan masuknya uang ke kantong pribadi atau perusahaann, namun ditempuh, dan mau tidak mau masyarakat luas hanya akan gigit jari, karena tidak tahu lagi akses apa yang harus dimiliki demi menyadarkan ketimpangan tersebut, ataukah hanya banjir air mata tanpa solusi bagi para warga sebagai salah satu bagian dari imbas kebijakan.
Celaka benar-benar celaka, Jakarta adalah sekaligus ibukota negara, sebagian besar kebijakan dan edaran rupiah berlangsung di kota ini, dan betapa dirugikannya negara ketika akses yang seharusnya murah, mau tidak mau, harus dibayar dengan mahal, berlipat ganda, karena bodohnya pengaturan lalu lintas bahkan hingga lalu lintas air pun harus mengalami kemacetan yang fatal, demi menambah segala bentuk kemacetan yang lainnya. Fatal karena segala bentuk kebijakan yang seharusnya berimbas cepat dan dilakukan cepat, harus berhadapan dengan kemacetan dan bottle neck informasi yang demikian memalukan jika tidak bisa dikatakan akan mematikan banyak sendi kehidupan negara karena masalah yang demikian sepele, namun tak terpecahkan entah karena salah branding sehingga malah menjadi distrik kepongahan, tanpa malu terhadap keadaan dirinya sendiri, dan tanpa solusi banjir ataupun kemacetan yang cerdas.
Keuntungan lain hanyalah bahwa keburukan dan ketidak berhasilan pembangunan dapat dengan jelas dibaca di kota ini, dengan bencana-bencana kecil seperti banjit, jalan rusak, kemacetan, pencurian, huru-hara, dapat terlihat di kota ini, sebagai mungkin wajah miniatur negara, bukan tidak mungkin ini jika ini bisa disikapi secara positif oleh banyak produsen barang komoditas, tanpa harus bersusah payah survei kesana kemari untuk salah satunya membuat dan mendesain mobil keluarga ideal terbaik Indonesia.
Pembuatan kanal banjir timur, bendungan-bendungan dan lain sebagainya memang bagus selain dipercaya sebagai solusi banjir Jakarta, terutama bendungan untuk menjaga keseimbangan ekosistem, namun tentunya dengan bentuk dan tata seni yang indah, sehingga bukan sekedar alat perang antisipasi kepada banjir saja. Karena bentuk bendungan yang pada rencananya hanya sebagai bentuk antisipasi maka bukan tidak mungkin jika itu hanyalah seperti pengobat atau penutup luka saja bagi tubuh, yang bahkan kalau keliru strategi bisa menjadi bom waktu atau ancaman ketika bisa dipolitisir untuk kepentingan tertentu. Juga kondisi tanah yang sulit mencerap air, dan pengerasan tanah pada pemukiman-pemukiman selain hanya beralasan untuk kebersihan, namun adalah juga penyumbang banjir dan ketidakseimbangan ekosistem yang seharusnya menjadi titik berat konservasi lingkungan hidup.
Sebuah buah pikir sederhana untuk solusi banjir Jakarta di sini, adalah mencermati infra struktur yang sudah eksisting dan mencerna sumber serta arah air penyebab banjir yang utama, diselaraskan dengan faktor-faktor penghindar chaos dan kemapanan yang sudah ada, karena akan sulit ketika menata kota Jakarta kembali dari nol, dan bahkan tidak mungkin. Maka solusi banjir Jakarta seharusnya dimulai dari kota diatasnya yaitu kota Bogor. Struktur jalan tol adalah solusi banjir yang belum pernah terpikirkan, bagaimanapun cara terbaik sebagai soulusi mengatasi banjir di Jakarta adalah dengan mem-by pass aliran air dari atas langsung ke laut tanpa harus berdemo dan bermacet ria tanpa polisi lalu lintas di ibukota Jakarta, karena sangat tidak logis jika membuat payung sebesar kota Jakarta, meskipun bisa toh aliran air yang besar dari atas tak sanggup untuk terbendungkan.
Pembuatan talang air diatas jalan tol dan menggunakan jalan tol sebagai alurnya, diletakkan di atas jalan tol, dengan lebar dan ketinggian yang disesuaikan dengan arus air, di kota Bogor jelas talang harus lebih besar, lebar dan tinggi mengingat curah air yang banyak dan letaknya lebih tinggi. Talang air yang berada di atas jalan tol harus dijaga ketat hingga sampai ke laut. Berbagai titik bertemunya arus air harus ditandai dan difasilitasi dengan talang, memang biayanya mahal, namun dengan talang air ini tidak akan mengubah dan mengganggu kepemilikan tanah penduduk atau warga, tidak perlu menambahkan lagi upaya yang tidak perlu seperti bendungan-bendungan besar, dan mengeruk sungai hingga dalam, karena akan sangat lebih berbahaya, terlebih dengan hobi warga membuang sampah sekenanya, sebagaimana para punggawanya yang nyerocos saja tanpa solusi.
Talang air dengan menggunakan wahana jalan tol ataupun talang diatas jalan akan merupakan solusi banjir yang indah, karena tangkapan hujan demi keseimbangan ekosistem di Jakarta masih tidak terganggu, meski tidak menutup kemungkinan apabila ada curah hujan berlebih, maka generator untuk menaikan air ke talang harus menjadi add-on yang patut dipertimbangkan. Sungai atau talang yang berada diatas harus dijaga kebersihannya, dan akan sangat aman karena berada diatas jangkauan untuk membuang sampah, terkecuali memang ada niat jahat untuk melakukannnya.
Demikian sekelumit sumbangan untuk solusi banjir Jakarta, tidak tertutup kemungkinan nantinya akan menyusul solusi-solusi selanjutnya menurut kesederhanaan yang ada disini sebagaimana solusi kemacetan yang pernah ditulis dalam distrik kepongahan, demikian juga untuk hal lain bila dan bila sempat tentunya.
Solusi Untuk mengatasi Kemacetan Jakarta
Untuk mengurai kemacetan lalu lintas di wilayah ibu kota, sepertinya tidak bisa hanya diselesaikan dengan mengembangkan dan meningkatkan pelayanan transportasi massal seperti bus rapid transit (BRT) melalui busway dan mass rapid transit (MRT). Akan tetapi, upaya ini harus disinergiskan dengan pembangunan dan peningkatan jaringan jalan serta pengendalian penggunaan kendaraan bermotor pribadi di Kota Jakarta. Saat ini, daya dukung infrastruktur jalan DKI hanya mampu menampung 1,05 juta kendaraan. Sebab, panjang jalan yang dimilik kota Jakarta adalah sepanjang 7.650 kilometer dan luas jalan seluas 40,1 kilometer atau sekitar 6,2 persen dari luas wilayah DKI Jakarta. Sementara pertumbuhan panjang jalan hanya 0,01 persen per tahun.
Berdasarkan data yang dimiliki Polda Metro Jaya, pada tahun 2009 lalu, jumlah sepeda motor di Jakarta mencapai 7,5 juta unit atau meningkat dari tahun 2008 yang mencapai 6,7 juta unit. Kemudian, jumlah angkutan umum di tahun 2009 mencapai 859 ribu unit atau meningkat dari tahun 2008 yang hanya sebanyak 847 ribu unit. Begitu juga dengan jumlah kendaraan pribadi mobil di tahun 2009 sebanyak 2,11 juta unit atau meningkat dari tahun 2008 yang mencapai 2 juta unit.
Sedangkan tahun ini, pertambahan kendaraan di Jakarta sekitar 1.117 kendaraan per hari, terdiri dari 220 mobil dan 897 sepeda motor. Total kebutuhan perjalanan di DKI Jakarta sebanyak 20,7 juta perjalanan per hari. Kemudian total jumlah kendaraan bermotor yang melintasi jalan di DKI Jakarta sekitar 5,8 juta unit, terdiri dari kendaraan pribadi sebanyak 5,7 juta unit (98,5%) dan angkutan umum 88.477 unit (1,5%).
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) yang juga Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan, mengatakan, Kota Jakarta mempunyai permasalahan berat yang harus segera diselesaikan, yakni masalah kemacetan lalu lintas. Sehingga, Pemprov DKI harus mencari berbagai upaya untuk mengurai kemacetan dan menghilangkannya dari wajah ibu kota ini.
Untuk mengatasi dan mengurai kemacetan yang diakibatkan pertumbuhan kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua yang semakin pesat, tidak bisa hanya diserahkan pada pembangunan, pengembangan dan peningkatan pelayanan transportasi massal. “Kita tidak hanya bisa mengandalkan peningkatan pelayanan transportasi umum, pengembangan busway yang berbasis BRT dan pembangunan MRT di kota Jakarta,” kata Azas Tigor di Jakarta, Selasa (27/7).
Jika hanya mengandalkan pengembangan transportasi massal, dipastikan upaya mengatasi kemacetan tidak akan terselesaikan sama sekali. Sebab, saat beroperasi melayani warga Jakarta, transportasi massal ini membutuhkan jaringan jalan yang baru dan tidak bisa menggunakan jaringan jalan yang sudah ada. Karena beban jaringan jalan eksisting sudah terlampau berat menampung jumlah kendaraan bermotor baik pribadi maupun angkutan umum yang setiap hari terus bertambah banyak.
Untuk itu, lanjutnya, upaya mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta diperlukan tiga upaya yang sinergis dan harus dilakukan secara bersamaan. Yaitu, harus dilakukan pengembangan, pembangunan dan peningkatan layanan transportasi massal, pembangunan jaringan jalan baru, dan mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
“Jaringan jalan baru juga harus dibuat untuk mengatasi pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi yang bertambah banyak. Saat ini perbandingan pertumbuhan keduanya yaitu satu berbanding sembilan persen untuk kendaraan pribadi,” ujarnya. Artinya, setiap hari pertumbuhan kendaraan bermotor seperti sepeda motor bisa mencapai 800-900 unit per hari, sedangkan mobil mencapai 300 unit per hari. Sehingga kalau tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur jalan, kemacetan juga tidak akan teratasi dengan baik. Meski transportasi massal dan pembangunan jaringan jalan baru sudah dilakukan, namun Pemprov DKI tidak melakukan pengendalian penggunan kendaraan pribadi, kemacetan juga tidak bisa diuraikan.
“Jadi, ketiganya harus dilakukan secara beriringan, tidak bisa hanya mengandalkan satu upaya saja. Mengingat kebutuhan ketiganya sudah sangat mendesak,” tegasnya. Ia mendukung rencana Pemprov DKI yang akan membangun jaringan jalan baru dengan konsep jalan susun atau vertikal ke atas. Jika ada yang mengatakan pembangunan jalan baru akan menimbulkan kemacetan baru, Tigor mengingatkan, dalam sebuah pembangunan jalan dipastikan akan ada konsultan pendamping yang akan memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut.
Selain itu, penyelesaian masalah kemacetan jangan hanya diserahkan ke tangan Pemprov DKI. Akan tetapi pemerintah pusat juga harus turut bertanggungjawab menyelesaikan masalah kemacetan karena kota Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia.
Berdasarkan data yang dimiliki Polda Metro Jaya, pada tahun 2009 lalu, jumlah sepeda motor di Jakarta mencapai 7,5 juta unit atau meningkat dari tahun 2008 yang mencapai 6,7 juta unit. Kemudian, jumlah angkutan umum di tahun 2009 mencapai 859 ribu unit atau meningkat dari tahun 2008 yang hanya sebanyak 847 ribu unit. Begitu juga dengan jumlah kendaraan pribadi mobil di tahun 2009 sebanyak 2,11 juta unit atau meningkat dari tahun 2008 yang mencapai 2 juta unit.
Sedangkan tahun ini, pertambahan kendaraan di Jakarta sekitar 1.117 kendaraan per hari, terdiri dari 220 mobil dan 897 sepeda motor. Total kebutuhan perjalanan di DKI Jakarta sebanyak 20,7 juta perjalanan per hari. Kemudian total jumlah kendaraan bermotor yang melintasi jalan di DKI Jakarta sekitar 5,8 juta unit, terdiri dari kendaraan pribadi sebanyak 5,7 juta unit (98,5%) dan angkutan umum 88.477 unit (1,5%).
Ketua Dewan Transportasi Kota Jakarta (DTKJ) yang juga Ketua Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), Azas Tigor Nainggolan, mengatakan, Kota Jakarta mempunyai permasalahan berat yang harus segera diselesaikan, yakni masalah kemacetan lalu lintas. Sehingga, Pemprov DKI harus mencari berbagai upaya untuk mengurai kemacetan dan menghilangkannya dari wajah ibu kota ini.
Untuk mengatasi dan mengurai kemacetan yang diakibatkan pertumbuhan kendaraan bermotor baik roda empat maupun roda dua yang semakin pesat, tidak bisa hanya diserahkan pada pembangunan, pengembangan dan peningkatan pelayanan transportasi massal. “Kita tidak hanya bisa mengandalkan peningkatan pelayanan transportasi umum, pengembangan busway yang berbasis BRT dan pembangunan MRT di kota Jakarta,” kata Azas Tigor di Jakarta, Selasa (27/7).
Jika hanya mengandalkan pengembangan transportasi massal, dipastikan upaya mengatasi kemacetan tidak akan terselesaikan sama sekali. Sebab, saat beroperasi melayani warga Jakarta, transportasi massal ini membutuhkan jaringan jalan yang baru dan tidak bisa menggunakan jaringan jalan yang sudah ada. Karena beban jaringan jalan eksisting sudah terlampau berat menampung jumlah kendaraan bermotor baik pribadi maupun angkutan umum yang setiap hari terus bertambah banyak.
Untuk itu, lanjutnya, upaya mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta diperlukan tiga upaya yang sinergis dan harus dilakukan secara bersamaan. Yaitu, harus dilakukan pengembangan, pembangunan dan peningkatan layanan transportasi massal, pembangunan jaringan jalan baru, dan mengendalikan penggunaan kendaraan bermotor pribadi.
“Jaringan jalan baru juga harus dibuat untuk mengatasi pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi yang bertambah banyak. Saat ini perbandingan pertumbuhan keduanya yaitu satu berbanding sembilan persen untuk kendaraan pribadi,” ujarnya. Artinya, setiap hari pertumbuhan kendaraan bermotor seperti sepeda motor bisa mencapai 800-900 unit per hari, sedangkan mobil mencapai 300 unit per hari. Sehingga kalau tidak diimbangi dengan pembangunan infrastruktur jalan, kemacetan juga tidak akan teratasi dengan baik. Meski transportasi massal dan pembangunan jaringan jalan baru sudah dilakukan, namun Pemprov DKI tidak melakukan pengendalian penggunan kendaraan pribadi, kemacetan juga tidak bisa diuraikan.
“Jadi, ketiganya harus dilakukan secara beriringan, tidak bisa hanya mengandalkan satu upaya saja. Mengingat kebutuhan ketiganya sudah sangat mendesak,” tegasnya. Ia mendukung rencana Pemprov DKI yang akan membangun jaringan jalan baru dengan konsep jalan susun atau vertikal ke atas. Jika ada yang mengatakan pembangunan jalan baru akan menimbulkan kemacetan baru, Tigor mengingatkan, dalam sebuah pembangunan jalan dipastikan akan ada konsultan pendamping yang akan memberikan jalan keluar untuk mengatasi masalah tersebut.
Selain itu, penyelesaian masalah kemacetan jangan hanya diserahkan ke tangan Pemprov DKI. Akan tetapi pemerintah pusat juga harus turut bertanggungjawab menyelesaikan masalah kemacetan karena kota Jakarta merupakan ibu kota negara Indonesia.
0 comments:
Post a Comment